21082025
Kamis, 21 Agustus 2025, B (23) mengayuh sepeda listrik dengan kotak berwarna merah bertuliskan Sejuta Jiwa, membelah hawa gerah di kawasan Palmerah Barat. Di satu titik, ia memarkir kendaraannya, memasang payung peneduh, dan siap menunggu pembeli.
Tidak lama, beberapa pembeli datang. B melayani pelanggan dengan cekatan. Di antara pembeli siang itu, ada AO (28), seorang pekerja kantoran yang mengaku bergaji secukupnya. Siang itu, ia memesan kopi susu seharga Rp 8.000. Jika pergi ke kafe, setidaknya kopi susu serupa harganya bisa Rp 25.000. "Soal rasa enggak beda jauh. Buat kami pekerja dengan gaji yang enggak sampai Rp 8 juta, kehadiran kopi keliling ini tentu jadi pilihan," tuturnya.
B hanya satu dari sekian ribu "barista jalanan" yang setahun terakhir mewarnai sudut-sudut Jakarta dan sekitarnya. Mereka mengayuh sepeda listrik yang dimodifikasi dengan kotak besar hingga menyerupai gerobak dengan jenama yang berbeda-beda. Selain Sejuta Jiwa, ada jenama lain yang bertarung di jalanan. Mulai dari Jago, Haus, Calf, Janji Jiwa, Rindumu, Quick, hingga Tajeer. Semua jenama menggunakan kendaraan serupa, hanya warnanya berbeda. Desain gerobak dirancang dengan baik. Gelas plastik juga diberi merek. Para penjajanya didandani seragam khusus. Beda dengan pedagangan kopi saset starling "starbucks keliling" yang mengenakan pakaian biasa.
Setiap hari, B membawa 95 sampai 110 cup kopi dan variannya. Kadang habis, kadang sisa. "Kalau hujan kayak kemarin, bisa sisa 35 cup," tuturnya. Kopi yang ia jajakan dibanderol Rp 8.000 sampai Rp 10.000. Seminggu, omzetnya bisa Rp 4 juta. Dari situ, ia bisa membawa pulang Rp 1 juta lebih. Penghasilan sebulan berkisar Rp 3,5 juta hingga Rp 4 juta.
Kopi gerobak adalah fenomena yang baru marak satu-dua tahun terakhir. Akan tetapi, sebagian pemiliknya adalah pemain lama di bisnis kopi. WDH (51), salah satu pendiri kopi gerobak dengan jenama Tajeer, misalnya, adalah pemasok kopi gayo ke kafe-kafe di Jakarta Selatan dan sekitarnya sejak 2006. Pemilik Haus, Jago, dan Janji Jiwa juga merupakan pemain lama di bisnis kedai kopi modern yang cabangnya ada di mana-mana.
WDH menjelaskan, Tajer selama beberapa bulan terakhir mengoperasikan 15 gerobak kopi. Bulan ini, Tajeer meluncurkan lagi 45 gerobak baru untuk kawasan Karawaci. Ia memusatkan pembuatan kopi di Laboratorium Qertoev Coffee di Pondok Ranji. Kopi diracik oleh barista A. Para "barista jalanan" tinggal menambahkan es saja. "Sebelum kopi diracik menjadi minuman, brew-nya harus melewati uji rasa khusus. Ada quality control ketat supaya cita rasa tetap konsisten," ujarnya.
WDH menjelaskan, untuk membuat satu gerobak kopi, ia memodifikasi sepeda listrik dan kontainer yang harganya sekitar Rp 6 juta. Ditambah biaya lain dan pemeliharaan, satu gerobak kopi modalnya Rp 25 juta. Setiap hari satu gerobak menjual sekitar 40 cup kopi. Volume penjualan satu gerobak kopi kira-kira sama dengan penjualan harian satu kedai kopi kecil. "Tapi, kalau kedai kopi kopi kan investasinya bisa beberapa kali lipat," ujarnya.
Dengan harga kopi Rp 8.000 dan penjualan rata-rata 40 cup, satu gerobak kopi bisa balik modal dalam enam bulan. "Cuma persaingannya memang sangat ketat. Satu pemain saja bisa punya ratusan sampai ribuan gerobak kopi," tambahnya.
Tajeer, lanjut WDH, lebih mengarah pada wirausaha sosial. Pelakunya berbasis komunitas, pekerjanya anak-anak muda yang masih menganggur sampai ibu rumah tangga yang ingin kerja. Kini ia mempekerjakan sekitar 60 orang. Mereka mendapat gaji bulanan, komisi dan makan satu kali sehari. "Ya kalau ditotal, penghasilan mereka mendekati UMR, lha," ujarnya. Sementara itu, Haus mempekerjakan lebih banyak lagi pekerja, yaitu sekitar 2.000 gerobak keliling.