22042025

Rencana awalnya, cek lokasi ruangan SNBT tepat di H-1 sebelum ujian.

Dia dapat jatah ujian di tanggal 24 April. Berarti, harusnya cek di tanggal 23 April.

Pagi ini, aku tiba-tiba berpikir, "Bagaimana jika pada di H-1 itu, kampusnya jadi sangat penuh?" Asumsiku, setiap satu siswa yang ingin cek lokasi ruangan, akan ada banyak anggota keluarganya yang ikut datang mengantar. 

Hari ini, H-2. Datang sedikit lebih awal, harusnya masih bisa ditoleransi.

Oke, berangkat.


***


Seperti biasa, LRT pagi ini mogok lagi. Kereta nomor 1 (K1 1 20 97; TS21 MC 01), sekitar pukul 08.30, beberapa puluh meter tepat sebelum masuk ke Stasiun Cawang. Notifikasi "pintu akan segera dibuka" lagi-lagi berbunyi saat kereta belum masuk ke Stasiun. Untungnya, kali ini, pak masinis sudah tak panik lagi. Dengan sigap, beliau mengambil alih kendali manual kereta ini, lalu menuntun gerbong secara perlahan-lahan, maju memasuki Stasiun Cawang. Ketika posisinya sudah pas dan tepat sasaran, ia menekan sebuah tombol hijau di sisi kanan panel kontrol selama beberapa detik. Fussh! Pintu kereta di sebelah kanan langsung terbuka. Kali ini, tanpa pesan notifikasi.

Setelah itu, LRT kembali beroperasi normal secara otomatis.

Tiba-tiba aku teringat pada tulisan Pak Dahlan Iskan yang kubaca beberapa hari yang lalu. Bahwa besarnya listrik yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan listrik juga sangat bergantung pada beban penumpang yang diangkut.

Berdasarkan pengalamanku berulang kali terjebak mogok LRT selama ini, kejadian ini selalu terjadi pada pagi hari. Tepatnya di jam berangkat kerja, saat penumpangnya penuh sesak. Ketika penumpang sedang lengang pada siang hari, aku belum pernah merasakan terjebak mogok.

Jadi, mungkin saja, program otomatis pengendali LRT selama ini -- yang juga mengatur mengenai besaran daya listrik yang dikeluarkan untuk menggerakkan gerbong --, belum mampu mengkalkulasi besaran yang "pas" untuk mendorong tumpukan penumpang saat jam padat. Terlalu kecil, pelan atau tidak bergerak sama sekali. Terlalu besar, berbahaya, bisa jadi terlalu cepat dan berpotensi terpelanting lepas kendali. Oleh karena itu, mungkin, solusi pertengahanlah yang saat ini diambil. Ambil alih kendali manual. Sang masinis di kokpit bisa mengatur besaran daya yang sesuai. Cukup untuk menggerakkan gerbong, namun tetap berada di batas kecepatan yang aman.

Tadi pagi, aku juga baru menyadari, bahwa pada titik-titik tertentu, ada jalur rel yang menanjak. Ketika dilihat dari depan, rasanya seperti menaiki roller coaster saja.


***


Saat di perjalanan menggunakan Commuter Bogor Line, ku coba lihat-lihat informasi mengenai tanggal ujiannya. 

Pada kartu ujiannya, tertera peringatan bahwa peserta wajib cek lokasi ruangan ujian tepat pada H-1 ujian. Hari ini aku berangkat masih di H-2 ujian. Secara teknis, bukankah ini pelanggaran? Bagaimana jika sesampainya disana, aku diusir petugas keamanan. "Maaf, gedung baru bisa diakses pada H-1." Waduh. Panik.

Setelah lihat jadwal resmi, ternyata waktu ujiannya dilakukan dalam rentang yang cukup panjang. 23 April sampai 3 Mei.

Dia dapat di tanggal 24 Mei. Hoh? Kenapa gak dapat di tanggal 23 Mei? Telat kah? Padahal, sudah buru-buru daftar, tepat sesaat setelah pengumuman gagal SNBP? Hmm.. Mungkin, mereka yang dapat di hari pertama itu adalah mereka yang mendaftar jauh sebelum pengumuman SNBP? Mungkin, mereka yang tidak eligible SNBP. 

Oke. Kalau tanggal 23 Mei sudah ada yang ujian, berarti aku bisa pura-pura cek ruangan H-1 mewakili peserta yang ujian di tanggal 23 Mei. Hehee..

Tapi, masih ada resiko kemungkinan terburuk. Bagaimana jika perlu bukti berkas kartu ujian asli untuk bisa masuk cek ruangan?  Waduh. Seram juga. 


***

Oke sampai. 

Departemen Geografi UI.

Ekspektasiku, pada hari ini aku bisa bertemu dengan banyak calon peserta ujian sesi 23 Mei yang juga hendak mengecek lokasi ujian pada H-1. Ternyata, aku tidak menemukannya. Berdasarkan pantauanku, mayoritas orang yang lalu-lalang disini merupakan warga asli civitas akademika UI saja.

Oh iya, resiko kemungkinan terburuknya tidak terjadi. Aku berhasil sampai ke depan pintu ruangan ujian dengan aman-aman saja.


Pintu masuk utama



Dimulai dari halte Bis Kuning (lingkaran merah), lalu keliling-keliling kesana kemari mencari Gedung Geografi via Kantin (garis merah), lalu keliling-keliling kesana kemari mencari halte Bis Kuning (garis hijau), lalu akhirnya membuat kalkulasi rute terpendek optimal dari kedua solusi bruteforce barusan (garis biru).

Tadi pagi, tak ada petugas yang bisa ditanyai di lobi utama. Akhirnya, langsung coba tanya saja ke mahasiswa yang berjalan lalu-lalang. Dapat jawaban, diarahkan ke tangga. Untungnya, terdapat peta yang dipasang di setiap lantai. 

Nah, ini dia. Ketemu.  


Arsitektur gedungnya mengingatkanku dengan gedung Matematika di Kampus ITB Ganesha. Mirip sekali. Ah, mungkin, karena sama-sama FMIPA? Kalau tidak salah, dulu kan ITB pernah jadi bagian jadi UI juga? Apa jangan, jangan, memang desainnya sama?

Gedung Matematika ITB di Kampus Ganesha. Sama-sama punya unsur warna dominan merah bata.



***

Oke, saatnya pulang.

Rencananya, mau keliling-keliling dulu naik Bis Kuning, minimal sampai satu putaran keliling UI. Ternyata, bisnya tidak datang-datang. 

Hilang kesabaran, akhirnya langsung naik bis yang arahnya berlawanan saja. Balik arah, langsung pulang.

Eh, ketika sudah naik di dalam, barulah datang bis kuning yang ku tunggu-tunggu sejak tadi. Tidak hanya satu, tapi dua bis sekaligus. Berjalan beriringan berdekatan. 

Sepertinya, masih ada masalah di bagian penjadwalan headwaynya.


***

Tiba-tiba dapat kabar kalau eMoney Mandiri sudah tidak bisa digunakan lagi. Aduh. Panik. Aku tidak punya KUE (Kartu Uang Elektronik) jenis yang lain. Cuma punya yang eMoney. 




Oh. Hoax ternyata. 

Bikin gaduh saja.



Popular posts from this blog

020220250839a

23022025

13022025