02032025

Salah satu budaya Ramadhan unik yang dilaksanakan di masjid komplek belakang adalah program tadarus Al-Qur'an setiap malam, sejak 1 Ramadhan.

Teknis pelaksanaannya tiap tahun cukup bervariasi. Bahkan bisa dibilang, lumayan tidak konsisten.

Satu-satunya yang konsisten dari sistem ini adalah sistem penyediaan konsumsi tadarus. Dibiayai secara patungan dan bergilir oleh warga sekitar.

Sepengalamanku mengikuti program ini selama beberapa tahun berturut-turut, ada beberapa varian sistem tadarusan yang telah dicoba untuk diimplementasikan.

Versi pertama, sendiri-sendiri. Tiap orang dibiarkan ngaji sendiri di ruang utama masjid.

Versi kedua, estafet. Para peserta tadarus membuat barisan. Lalu mereka bergantian mengaji secara sambung menyambung ayat. Misal, orang pertama mengaji satu 'ain. Lalu disambung ke orang kedua, dan seterusnya. Mengajinya pakai mic eksternal. Ketika belum dapat giliran ngaji, orang-orang yang mengantri hanya bisa mendengarkannya saja.

Sistem ini cukup kontroversial dan banyak diprotes.

Protes pertama, dari warga sekitar. Berisik. Suara keras mic eksternal sampai tengah malam. Apalagi, tak semua yang mengaji itu bisa melantunkan ayat dengan merdu. Kebanyakan pesertanya hanyalah anak-anak dan remaja, yang kadang sering bercanda saat menggunakan mic tersebut. Akhirnya dianggap menganggu.

Protes kedua, antriannya terlalu panjang. Bahkan sampai tak kebagian antrian. Akhirnya, semalaman tidak bisa ngaji sama sekali. Hanya mendengarkan saja.

Versi ketiga. Anak-anak dan remaja DILARANG sama sekali ikut program ini. Tak ada ruang untuk main-main. Edisi khusus orang dewasa. Hanya bapak-bapak saja yang boleh masuk ke sistem tadarus versi ketiga.

Sistemnya mirip dengan estafet. Namun, difokuskan khusus untuk estafet pengkhataman quran. Tidak seperti anak-anak yang durasi ngajinya hanya satu ain, para bapak-bapak ini biasa ngaji dengan durasi sangat panjang. Semalam suntuk. 

Satu sesi ngaji seorang bapak-bapak bisa memakan waktu hingga berjam-jam. Hanya ada satu bapak-bapak di ruang utama masjid. Bapak-bapak sisanya, yang sedang mengantri giliran, duduk-duduk santai sembari ronda malam di area luar masjid. 

Penggunaan mic eksternal dibatasi sampai jam 10 malam. Setelah jam itu, pembacaan Quran tidak menggunakan mic sama sekali.

Lagi-lagi sistem ini mendapatkan tentangan yang keras dari pak ustad yang pro-sistem kedua. Karena meniadakan ruang program pembinaan anak-anak sama sekali.

Pecahlah konflik besar antara Pak Ustad melawan "golongan tua". Pak Ustad menanggap, orang tua harus mengalah. Berikan ruang masjid untuk golongan muda. Golongan tua tidak boleh mengaji lagi di sini, kalau perlu. 

Konflik berkembang jadi intrik, fitnah, kriminalisasi dan hal sebagainya. Imbasnya, karena kondisi geopolitik yang tidak stabil ini. Aku harus mengungsi keluar. Tidak bisa shalat di masjid itu lagi.



Popular posts from this blog

020220250839a

23022025

13022025