14022025

Di Kompas hari ini, diberitakan bahwa ada kasus pencurian avtur di Bandara Kualanamu. 

Pipa minyak bawah laut di dekat pantai dilubangi ketika masih kosong, lalu disambungkan menggunakan saluran pipa ke gubuk kayu pengepul avtur. Setiap ada bongkar muat, 30.000 liter avtur tercuri. 

Namun, pihak Pertamina tidak menyadarinya, karena angka tersebut masih berada dalam ambang toleransi kehilangan avtur akibat penguapan. Dengan kapasitas total 30 juta liter, 30.000 liter hilang itu ternyata masih ada dalam batas toleransi yang dimaklumi.

Dulu, aku juga pernah menyaksikannya langsung. Dulu sekali, sekitar tahun 2005 - 2010. 

Banyak anak-anak remaja, berkeliaran lalu-lalang, membawa sebuah kantong plastik besar di tepi Jalan Yos Sudarso, Rawabadak Utara, Koja, Jakarta Utara. 

Titik koordinat pastinya itu ada di -6.127842719567148, 106.89396772635232. Dulu, ada SPBU di dekat titik itu. Sekarang, lahan bekas SPBU itu sudah dijadikan taman.

Anak-anak itu menunggu mobil truk tangki Pertamina yang melewati Jalan Yos Sudarso. Berlarian maju ke tengah jalan, sambil menerjang arus lalu lintas yang padat, lalu membuka sebuah pintu boks yang terletak tepat di tengah sisi samping mobil truk tangki, lalu membuka keran yang ada di dalam boks tersebut, lalu menampung tetesan-tetesan minyak yang keluar dari saluran tersebut. Semua dilakukan saat truk tersebut bergerak. Tak jarang, mereka berlari mengejar truk sambil meraih keran tersebut.

Apabila kondisi jalanan sedang macet, mereka bisa dapat banyak tetesan minyak. Supir truk tak bisa melarikan diri di tengah situasi tersebut. Tapi kalau jalanan sedang lancar, tak banyak tetesan minyak yang didapatkan, Kalau sudah tak terkejar lagi, mereka biasanya menyerah, kembali sejenak ke trotoar, untuk mencari mangsa truk yang lain.

Dan semua itu dilakukan secara terang-terangan di siang bolong. Waktu itu, aku sedang berdiri di trotoar yang sama, menunggu bus Mayasari Bakti P40 Tanjung Priok - Bekasi Barat, menyaksikan semua itu.

"Ah. Itu cuma tetesan minyak sisa. Hanya truk bertangki kosong yang melewati jalan itu."

Oh. Benar juga. Depot plumpang kan ada di depan.

Berarti? Apakah hilangnya tetesan minyak dari truk itu juga ikut dimaklumi oleh Pertamina?

Apapun itu, aksi mereka cukup membahayakan pengguna jalan di sekitar situ.



***

Sementara itu, di Stasiun Bekasi...

Di atas gerobak yang diparkir di atas trotoar selebar 1,5 meter di sekitar Stasiun Bekasi, Ijul (39) dengan cekatan meracik segelas es kopi kemasan untuk pelanggannya, seorang pengemudi ojek daring. Berkat izin organisasi masyarakat (ormas) setempat, 15 tahun sudah gerobak minuman itu beroperasi. Dalam sehari, ia bisa meraup omzet Rp 300.000. "Dulu, sebelum pandemi saya bisa mendapatkan omzet hingga Rp 500.000 per hari. Sekarang jauh lebih sepi," ujar Ijul.

Saat berjualan, ibu dua anak ini membawa anaknya yang kedua yang masih berusia tiga tahun. Usaha ini adalah warisan dari suaminya. Satu tahun lalu, suaminya wafat meninggalkan Ijul sebagai tulang punggung keluarga. "Suami saya dulu adalah mantan anggota ormas tersebut, jadi kami diberi kesempatan untuk berjualan di sini," katanya. Ia harus menyetorkan uang berkisar Rp 200.000 hingga Rp 300.000 per bulan sebagai "iuran keamanan". Namun, setoran itu tidak selalu rutin. "Kadang ada, kadang tidak. Mereka juga tidak memaksa, mungkin karena kasihat melihat saya seorang single parent (orangtua tunggal)," ucap wanita asal Tasikmalaya tersebut.

Tak jauh dari tempat Ijul berjualan, Ano (51), seorang penjual batagor, juga kebagian kapling di trotoar yang sama. Berbeda dengan Ijul, Ano harus membayar iuran harian Rp 2.000 kepada pewakilan ormas setempat. "Jumlahnya tidak terlalu memberatkan karena dalam sehari saya bisa mendapatkan omzet sekitar Rp 200.000," kata pedagang asal Garut yang telah 10 tahun berjualan di area itu tersebut. "Sampai sekarang, dagangan saya belum pernah diangkut oleh satuan polisi pamong praja. Kalaupun ada razia, kami biasanya hanya disuruh minggir sebentar," ujarnya.

***

Di Jakarta, tepatnya di depan Apartemen Kalibata City, trotoar juga telah berubah fungsi menjadi lahan berdagang. IW, salah seorang anggota ormas setempat, mengaku menyewakan area trotoar untuk berdagang. Untuk setiap lapak, ia mengenakan tarif Rp 2,5 juta sebagai biaya awal, ditambah iuran bulanan Rp 300.000. "Banyak yang mau berdagang di sini karena lokasinya strategis, dekat Stasiun Duren Kalibata dan apartemen," katanya. "Kalau sudah membayar ke ormas, pedagang akan lebih aman. Jika ada razia, mereka akan diberi tahu terlebih dahulu."

Popular posts from this blog

020220250839a

23022025

13022025